google376dd0c736f65c61.html jejak tersamar

Minggu, 01 Maret 2015

Perjalanan ke Singapura ala Wong Ndeso



Melakukan perjalanan ke suatu tempat yang baru memang menjadi hobby saya dan istri, tapi perjalanan kami kali ini laksana jadi orang “ndeso” yang pertama kali ke kota besar. Singapura, yah walaupun negara tetangga tapi tingkat kemakmuran mereka sudah level negara maju.

Perjalanan ke Singapura sebenarnya tidak kami rencanakan sebelumnya. Urusan kami di Malaka ternyata lebih cepat dari perkiraan, spontan terpikir oleh ku untuk mengajak jalan istri ke Singapura one day trip setelah sampai di Batam, sebelum kembali ke Jambi. Sambil mencari produk yang sulit kami temukan di Indonesia dan Malaysia. Seperti kuduga ajakanku diterima senang hati oleh istri.

Mengingat waktu persiapan yang mepet kami hanya sempat “googling” informasi alamat penjual produk yang kami cari yang lokasinya di Singapore Post  Centre dan googling objek wisata yang banyak dikunjungi di Singapora, membeli dollar Singapura  (kurs beli saat itu 1 dollar Singapura (SGD) = Rp. 9.522) dan tiket ferry Batam-Singapura PP. Perjalanan ke Malaysia sudah beberapa kali kami lakukan, kalau ke Singapura, saya sendiri baru sekali ke sana sebelumnya, itupun ikut rombongan dan  satu hari dimana semua rute perjalanan sudah diatur oleh biro perjalanan wisata sekitar 6-7 tahun yang lalu. Sementara istri belum pernah ke sana sebelumnya. Yang selalu kuingat dari pemandu wisata kami waktu itu, Singapura adalah negara yang sangat banyak aturan, contohnya membuang sampah atau putung rokok bisa kena denda yang sangat tinggi.

Sabtu 21 Februari 2015, setelah sholat subuh di hotel di kawasan Nagoya dengan menggunakan taksi kami menuju pelabuhan ferry Batam Centre. Setelah melalui proses check in di counter kapal ferry, terus pemeriksaan Imigrasi, kamipun berangkat ke Singapura pukul 7.30 wib. Mengingat waktu Singapura lebih cepat 1 jam dari di Batam maka sebelumnya saya putar arloji 1 jam lebih cepat. Setelah satu jam perjalanan pukul 9.30 A.M waktu setempat  akhirnya kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Ferry  Singapura, seperti yang telah kualami sebelumnya pemeriksaan Imigrasi disini lebih ketat dibanding di Malaysia. Selain diminta perlihatkan KTP juga ditanya tujuan kemana, dan jawaban yang sudah kami persiapkan sebelumnya yaitu “Merlion Park” (tempat yang ada patung singa yang menjadi icon Singapura). Bisa jadi karena penampilan kami dianggap mencurigakan ya sehingga prosesnya seperti itu...*lihat cermin.

Keluar dari pemeriksaan, kebingunganku yang pertama muncul, karena kami memasuki ruangan kondisinya berbeda dengan kunjunganku dulu,sekarang mirip dengan mall. Sesuai rencana, untuk menghindari biaya roaming HP yang mahal, kami muter-muter cari counter yang jual simcard lokal, yang ternyata tidak mudah ditemui. Kebingungan lain, yang selanjutnya menjadi masalah kami selama di Singapura ternyata sediikit dari orang yang kami temui yang bisa bahasa Indonesia/melayu, bahkan ketika kami bertanya pada dua wanita muda berwajah melayu  pada dua kesempatan berbeda  !, akhirnya dengan terpaksa keluar juga ilmu bahasa Inggris ala kadarnya yang selama ini tak pernah kuaplikasikan di dunia nyata, alhamdulillah setelah mengerahkan konsentrasi penuh,  bisa juga nyambung dengan gadis pemandu di counter operator telpon lokal yang kami temui.

Di dalam pelabuhan/mall ada petunjuk arah menuju sarana transportasi  bus, taksi dan MRT. Biar tidak bingung kami memilih taksi . Mungkin karena salah mengikuti petunjuk arah,begitu  keluar bangunan langsung bertemu jalan raya. Ketika ada taksi lewat timbul keraguan untuk mengentikannya, jangan-jangan nanti malah kena denda gara-gara menghentikan taksi disembarang tempat, karena tak ada pilihan lain, akhirnya  “nekat” menghentikan taksi yang lewat. Ketika taksi berhenti kami langsung masuk kedalam taksi yang dibawa ibu-ibu separuh baya, “how much to merlion” kataku segera, sebenarnya terlihat argometer di situ, tapi ku tak menemukan kalimat Inggris yang pas untuk menanyakan perkiraan biaya, takut kemahalan, maklum budget terbatas hehe... Sejenak ibu tadi bingung, “layen..merlayen” istriku mengulangi. Oh.. merlayen (Merlion) kata ibu sopir tadi, baru sadar tadi salah di pronounciation. Dalam perjalanan ibu tadi nyerocos bicara bahasa Inggris dengan logat Chinesse. Kalau naik taksi di Singapura jangan tanya ongkosnya berapa, beda dengan di Malaysia atau Indonesia katanya berulang-ulang. Walau seperti melecehkan tapi kesannya ibu tersebut orangnya cukup ramah dan lucu.

Sekitar 30 menit kami berada di Merlion Park, dokumentasi tentunya gak terlewatkan.  Saat itu cukup ramai dengan pengunjung, mungkin karena 2 hari sebelumnya adalah tahun baru China, sehingga masih dalam suasana liburan di sana.

Sekitar pukul 11 siang kami kembali mencari taksi, tujuan kami selanjutnya Orchad Road, penasaran saja gimana sih kawasan yang sering jadi tempat shopping para selebritis Indonesia itu. Orchad Road lingkungannya sangat asri, banyak ditumbuhi pepohonan, karena bingung mau berhenti dimana akhirnya kusampaikan ke supir taksi yang kali ini bapak-bapak tua berwajah Chinesse bahwa kami belum pernah kesini dan mau cari tempat untuk belanja...  dengan bahasa Inggris sebisanya.  Kami diantar sampai ke lobby sebuah mall. Tak sampai 30 menit kami di sini, tak ada minat belanja karena dari tampilan barang dan merk yang dipajang kami tahu itu barang-barang mewah. Kesan mewah terlihat pada semua bagian mall ini tak terkecuali toilet. Toilet di sini sangat bersih dengan peralatan serba mewah, seperti toilet di pelabuhan ferry yang kami lihat tadi, di dalam hanya menyediakan tissue, tidak ada air basuh. Karena alasan kebersihan dan kebiasaan kali ini terpaksa kami bawa botol air mineral dalam ke toilet.
Pada petugas mall berwajah melayu dengan uniform yang modis, kami tanyakan tempat belanja yang murah di sini, syukurlah dia bisa bahasa melayu, dia merekomendasikan City Plaza di daerah Paya Lebar, “..orang Indonesia  banyak belanja di sana”, kebetulan pikirku.. karena kami juga mencari suatu produk di Gedung Singapore Post di daerah Paya Lebar, “...dari mall ini bisa pake bus atau MRT”. Ya MRT... “kenapa tidak kami coba saja ya” kata istriku menguatkan. Saat itu belum tahu seperti apa MRT di Singapura, seperti bus, kereta api atau monorail kah. Segera kami menuju salah satu lantai mall yang terhubung dengan stasiun MRT.
Kami memasuki ruangan dimana banyak orang lalu-lalang di situ, terlihat sekelompok orang sedang memperhatikan peta jalur MRT, sekilas seperti peta busway di Jakarta. Di depan peta ada seorang  lelaki yang ngobrol dengan beberapa anak-anak didekatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia, segera tanyakan bagaimana cara naik MRT ke Paya Lebar. Agak terburu bapak tadi menjelaskan prinsipnya seperti naik busway, dengan sekali bayar kita boleh berganti jalur busway sesuai  tujuan kita atau semau kita selama kita tidak keluar area MRT.

  Peta MRT Singapura

Tak jauh dari situ kami melihat orang antri disebuah loket penjualan, ini pasti tempat penjualan tiketnya pikirku, tak ragu lagi kami ikut antri. Dengan bahasa Inggris yang kali ini  agak sulit kupahami dan terpaksa kuminta penjelasan berulang-ulang, kuketahui  wanita muda berwajah melayu menjelaskan, benda seperti kartu voucher dijual disini bisa digunakan untuk MRT bus dan kegunaan lain, berlaku untuk 5 tahun. “Hah..Harga 12 dollar, bisa naik MRT untuk 5 tahun ?” pikirku heran. Satu hal lagi pertanyaan ‘ndeso” yang kusampaikan adalah bagaimana menggunakan kartu ini, apa harus ditunjukin ke petugas MRT? “..TAP..” (tempel)... jawab wanita tadi yang masih ku ingat, tapi tak begitu kupahami maksudnya. Informasi yang kuketahui belakangan, itu adalah kartu EZ-LINK  dengan nilai deposit tertentu sesuai harganya, deposit akan berkurang bila kita gunakan untuk MRT , bus atau tempat rekreasi dll , deposit kartu ini bisa diisi ulang di mesin penjualan tiket atau tempat tertentu, untuk naik MRT bisa dengan tiket yang dibeli di mesin tiket untuk satu kali perjalanan, dan juga dengan menggunakan Singapore Tourist Pass (STP) informasi ini belakangan kuketahui dari travelsingapura.com.



Contoh Kartu EZ-LINK

Untungnya ada bagian informasi di dekat situ, kutanyakan cara ke Paya Lebar dan penggunaan sepasang kartu yang telah kami beli. Untungnya ibu berhijab dibagian informasi bisa berbahasa melayu, kami diberi leaflet peta MRT. 

Pintu masuk area MRT

Kami ikuti arus orang menuju MRT, oh rupanya tiket dan kartu EZ-LINK digunakan untuk membuka pintu otomatis dengan menempelkan kartu/tiket dibagian tertentu.  MRT ada di lantai bawah dan untuk kesitu kami menggunakan  eskalator.  Ini toh MRT itu pikirku ketika berada diantara dua kendaraan mirip kereta api yang sedang berkelabat yang masing-masing berada pada jalur berlawanan. Sepertinya jalur MRT ini ada dibawah tanah (underground). Sesuai peta, kami mencari MRT tujuan Marina Bay. Arah perjalanan terlihat pada pintu masuk ke MRT. MRT yang berhenti disetiap stasiun, kami transit dari MRT tujuan Marina Bay di stasiun City Hall ke MRT tujuan Changi Airport dan berhenti di stasiun Paya Lebar.


 Salah satu stasiun monorail 

Ternyata keluar stasiun pun harus “tap” kartu EZ-LINK lagi di pintu otomatis, agar palang pintu terbuka. Gedung Singapore Post hanya berjarak sepelemparan batu dengan stasiun MRT.  Alhamdulillah produk yang kami cari ketemu di sini. Setelah sholat jamak Zuhur-Ashar, dan makan siang yang kesorean di counter fried chicken di gedung ini, kami urungkan niat ke City Plaza, mengingat waktu sudah menunjukan pukul 3 sore, sesuai rencana kami harus pulang ke Batam malam ini dari pelabuhan ferry.


 Suasana interior monorail
Dari alternatif tujuan Marina Bay dan Sentosa Island, saya memutuskan untuk ke Sentosa Island saja karena letaknya tak jauh dari pelabuhan ferry. Dua pemuda yang kami tanya menyebutkan kami harus naik MRT Ke Harbourfron untuk ke sana.
 Jalur MRT dari Paya Lebar ke Harbourfront cukup jauh, tetapi tidak perlu transit MRT.  Jalan keluar stasiun MRT Harbourfront terhubung dengan mall besar, sehingga walau banyak petunjuk tapi kami lagi-lagi harus tanya sana-sini untuk bisa ke Sentosa Island. Sentosa Island adalah kawasan wisata terkenal di Singapura yang merupakan pulau kecil yang tak jauh dari dataran Singapura yang terhubung dengan jembatan. Untuk kesitu dari mall tadi bisa dengan bus, monorail, kereta gantung (subway) dan jalan kaki melaui boardwalk. Awalnya kami berniat mencoba angkutan bus, kami ikuti petunjuk jalan menuju bus yang kami kira akan membawa kami ke Sentosa Island. Setelah menemukan halte bus, karena enggan untuk bertanya lagi kami langsung naik bus yang berhenti di halte.
Begitu memasuki bus kelihatan lagi deh” ndeso”nya, sopir menegur kami untuk menempelkan kartu di dekat supir (konon, ada bus yang bisa dibayar pake uang tunai, tapi harus uang pas). Kurang lebih 3 km bus berjalan, saya merasa ada yang tidak beres. Karena yang kutahu Sentosa Island itu tidak jauh dari Harbourfront tapi tidak ada tanda-tanda bus ke arah sana. Terpaksa namun berat hati karena merasa tidak menemukan kalimat Inggris yang pas, segera kutanya anak remaja disebelah apakah ini kami naik bus yang benar. Seperti dugaan ku ternyata salah, bus ini sepertinya bus kota biasa. Katanya kami harus berhenti di halte selanjutnya dan menyebrang jalan untuk naik bus ke arah semula. Segera kami turun ke lantai bawah (busnya tingkat) buru-buru bilang ke supir untuk berhenti (dari informasi yang kutahu belakangan setiap/umumnya bus di sini ada tombol khusus untuk meminta sopir berhenti pada halte selanjutnya). Segera kami menghambur keluar , tanpa mengiraukan  sopir yang seperti memanggil kami, tapi kemudian bus terus jalan lagi. Jangan-jangan kami harus tap kartu EZ-LINK lagi ya, pikir kami kemudian, geli sendiri kalau ingat itu.
Kami pun menyebrang jalan dua jalur yang sepi tapi harus ekstra hati-hati karena kendaraan yang lewat melaju kencang. Di halte bus seberang kami bertanya pada, wanita muda yang sedang menunggu bus di halte itu cara menuju Sentosa Island, Dia menujuk peta rute bus di dinding halte dan nomor bus yang harus kami tumpangi, namun begitu bus yang ditunggunya tiba dia bergegas menuju bus meninggalkan kami yang masih bimbang, setelah bus dengan nomor yang disebutkan tadi tiba dengan ragu kami menaiki bus, kali ini tak lupa untuk “mentap” kartu EZ-LINK.
Dalam bus yang sedang berjalan, lagi kami bertanya pada gadis remaja yang duduk disamping kami arah menuju Sentosa Island, mungkin karena melihat kami masih bingung dengan penjelasannya, terlihat dia menelpon teman lelakinya dan menyodorkan HP kepadaku, saya menangkap sinyal agar kami bicara langsung dengan temannya  yang bisa bahasa Indonesia/melayu, langsung kutanyakan tentang arah tujuan kami. Jawaban dari HP menyebutkan kami harus berhenti di halte Vivo City, kemudian masuk ke dalam dan seterusnya ( tak ingat lagi apa yang disampaikan karena bahasa melayupun sebenarnya tidak sepenuhnya kupahami ). Melihat kami masih bingung, tak disangka dia memberi isyarat agar kami untuk mengikutinya. Kami berhenti di suatu halte, selanjutnya kami berjalan mengikutinya memasuki mall. Baru ngeh rupanya Vivo City itu nama mall awal kami salah manaiki bus tadi.  Setelah melewati beberapa belokan dan eskalator, dia berhenti  disuatu titik dan menjelaskan pilihan arah ke Sentosa Island,  dengan bus, atau monorail. Tak lupa kami ucapkan “thank you very much” ketika dia berbalik  arah dan bergegas pergi. Alhamdulillah di sini ada juga orang yang tulus membantu.
Segera kami ke level (lantai) 3, seperti orang lain kami “men-tap” kartu EZ-LINK di pintu masuk monorail, kali ini pintu tidak terbuka dan muncul tulisan “insufficient value”, saldo EZ-LINK tidak cukup !, dibagian informasi monorail kami mendapat penjelasan dengan bahasa melayu, kami bisa beli tiket 4 dollar di mesin tiket. Jarak yang ditempuh monorail cukup dekat dan kami berhenti di pemberhentian ke-3, atau pemberhentian terakhir di Sentosa Island. Dari sesama pengunjung kami diberitahu kalau untuk pulang kembali ke Vivo City itu “Free” alias gratis. 
Monorail
Melihat hari sudah petang, khawatir ketinggalan jadwal Kapal Ferry ke Batam terakhir malam ini, kami hanya sekitar 20 menit saja di situ, setelah melihat pantai, pertunjukan Barongsai, kami segera menuju parkiran Bus Shuttle gratis yang diperuntukan untuk wisatawan di Sentosa Island. Sekembalinya di Vivo City ternyata jalan ke pelabuhan ferry yang seharusnya letaknya bersebelahan dengan Vivo City itu sangat membingungkan kami, petunjuk arah yang ada tak cukup membuat kami jelas. Bahkan beberapa pramuniaga counter yang kami tanyakan dimana pelabuhan ferry ke Batam  juga tak ada yang tahu. Setelah berputar cukup lama akhirnya kami bertemu bapak-bapak tua berwajah melayu-india berseragam  dinas, “naik eskalator ke atas, lepastu belok kiri” kali ini dengan bahasa melayu. Sampailah kami di tempat yang ada tulisan HarbourFront, Hmm.., kalau tadi kami sebut saja HarbourFront mungkin banyak yang tahu ya.
Di sini kami kembali bertanya letak counter perusahaan ferry tempat kami harus check in, dan ternyata ada dilantai yang berbeda. Yang menjadi masalah ternyata keberangkatan kapal ferry pada perusahaan ferry yang tiketnya kami beli sewaktu di Batam untuk malam ini sudah “full-booked” penuh..., disarankan untuk berangkat besok hari saja. Sistem pembelian tiket ferry baik di  Batam adalah “open-date” artinya kapanpun bisa digunakan, mungkin karena dalam suasana hari raya Imlek maka kursi penumpang ferry cepat terisi. Berangkat besok pagi ?.. berarti harus sibuk cari hotel lagi, yang rata-rata tarifnya konon lebih mahal dari di Indonesia, belum lagi tiket pesawat untuk ke Sumatera dari Batam esok hari bisa hangus . Untungnya  tiket perusahaan ferry lain masih ada, akhirnya keluar lagi deh 46 dollar untuk keberangkatan pukul  8.45 PM ini. Kami bertemu bapak-bapak yang menggerutu karena mengalami kejadian seperti kami, tiket kapal dia dan rombongan keluarganya tidak bisa digunakan karena full booked  
Proses selanjutnya di pemeriksaan Imigrasi  dan keberangkatan kapal cukup lancar dan tepat waktu. Sekitar sejam kemudian sekitar pukul 21.00 WIB (sesudah arloji kembali dimajukan 1 jam) alhamdulilah sampai ke pelabuhan Batam Centre

Senin, 26 Agustus 2013

Penipuan SMS Gaya Baru

Menerima SMS sampah, berupa SMS iklan dan SMS penipuan menjadi hal yang biasa dan semakin sering saya alami akhir-akhir ini, khususnya SMS penipuan selain mengganggu bila tidak hari-hati bisa terjerat juga kita.

Baru-baru ini saya menerima SMS yang bunyinya seperti dibawah ini :



Sekilas sudah merasa ini PENIPUAN !!, ini terlihat dari alamat WEB perusahaan PT.SIDOMUNCUL yang menggunakan WEB gratisan (blogspot), belum lagi kalo dipikir saya belum pernah ikut undian produk dari perusahaan yang disebut dalam SMS tersebut. Pakai PIN ? Fungsinya ? Mungkin bisa diduga tujuannya apa mereka menggunakan PIN ya...

Karena rasa penasaran, pertama dengan bantuan 'om google' saya cari website resmi PT Sidomucul dan salah satu pilihan yang saya klik muncul tampilan seperti ini, di sini terihat alamat resmi perusahaan ini adalah www.sidomuncul.com dan www.sidomunculherbal.com, dan terdapat pernyataan "Jika ada website selain yang kami sebutkan diatas maka kami tidak bertanggung jawab".

Melanjutkan rasa penasaran saya ikuti website seperti tercantum dalam SMS tadi, http://ptsidomuncul-tbk.blogspot.com/ , melihat isi website (blog) ini perasaanku berubah yang awalnya kesal jadi rada geli sendiri. 
Beberapa hal yang membuat geli :
  • Tampilanya menurutku yang baru belajar buat blog, oke punya tapi rasanya tampilannya terlalu sederhana untuk sebuah website perusahaan besar
  • Ada nomor PIN, untuk hadiah utama persis seperti PIN di SMS tadi, koq kebetulan dapat hadiah utama.(terpikir mungkin sasaran korban SMS akan menerima no. PIN yang sama. Lucunnya juga koq cuma semua tingkatan hadiah PIN-nya koq cuma satu, malas mungkin mereka 'ngarang PIN' hehe.. 
 
Tampilan Home Screen
 
 
  • Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan sasaran, seperti menampilkan foto-foto, pejabat  perusahaan, foto penyerahan hadiah yang entah dari mana dapat fotonya, bisa jadi sebagian dari blog ini juga tampilanya hasil 'copy-paste'
  • Point utama dari modus mereka sepertinya ada pada biaya mutasi balik nama kendaraan, yang ini pun dibuat seolah korban dengan baik hati "dibantu" dengan biaya yang sebagian ditanggung perusahaan.
  • Telpon contact person ? tentu saja dibuat mobile phone agar susah dilacak.
Biaya Balik Nama di Discount

Singkat kata yang namanya penipu akan berupaya dengan berbagai cara untuk menjerat korbannya tinggal kita-nya aja yang harus tetap waspada, mereka pasti akan semakin kreatif berinovasi, karenanya tentu kita jangan terlalu pede bakal tidak kena, naudzubillah, jangan sampailah ya










 

Semalam di Malaka (Nasi Goreng Cili Padi)

Satu hal yang kami pikirkan ketika sampai Malaka adalah, apakah ada/banyak penjual makanan yang kira2 cocok dengan selera dan keiinginan kami? terus terang lidah dan perut kami susah menerima makanan yang bentuk dan rasanya aneh2, lagipula sebagai muslim tentunnya kami juga harus selektif terhadap menu asing yang kami temui, kebetulan pula kami agak susah menerima makanan selain yang mirip masakan tradisional Indonesia.

Dataran Pahlawan Mall
 
Kami jadi teringat saran dari sopir taksi yang mengatar kami dari terminal bis Central Malaka kemarin, tetang masakan tradisional Malaysia, asam pedas.., dari namanya saya jadi ingat masakan asam padeh, masakan Padang, mungkin kedua jenis masakan tadi sebenarnya sama minimal "serumpunlah", sehingga bisa diterima lidah kami, tetapi berhubung lupa posisi tempat yang ditunjuknya kemarin akhirnnya kami keliling cari makanan di foodcourt di salah satu mall di Malaka yaitu Dataran Pahlawan, ketemulah counter fried chicken waralaba yang terkenal, yah sementara lumayanlah untuk pengganjal perut sampai nanti ketemu tempat jual makanan lain yang sesuai selera. Bagi yang biasa menu makanan internasional gak usah khawatir karena banyak conter makanan waralaba dengan beragam menu yang terdapat pada beberapa mall besar di pusat kota Malaka, seperti mall Dataran Pahlawan dan mal Mahkota Parade.

Nasi Lemak
Untuk sarapan pagi, kami berharap ada penjual lontong sayur, nasi uduk atau bubur ayam disekitar hotel, tetapi yang kami dijumpai adalah beberapa kedai (warung), dimana sering kami jumpai pemilik kedainya keturunan India, dengan menu yang saya ingat adalah Nasi Lemak, yaitu makanan tradisional Malaysia semacam nasi uduk yang dibungkus porsi kecil dangan lauk sambal udang, atau sambal teri plus separuh telur rebus, ada juga semacam roti tankep, yaitu roti bakar yang ditengahnya diisi telor mata sapi. Selain itu juga ada martabak India dan roti canai. Harganya ? lumayan murah lah.


Warung makan yang banyak dikunjungi di dekat tempat kami menginap, juga dimiliki oleh warga keturunan India, pelayannya juga India, namun pengunjungnya dari berbagai etnis, baik melayu, chinese maupun India, harganyapun tergolong murah, menu makannya pun sebenarnya seperti masakan melayu, mungkin juga karena juru masak dan pekerja dapurnya dari etnis melayu. Ada yang cukup unik dari warung ini yaitu bagi yang hendak makan nasi, pembeli mengambil sendiri baik itu nasi maupun lauk-pauknya. Warung ini juga menjadi salah satu pilihan kami selanjutnya untuk variasi menu makan yang kami pilih.

Sebenarnya ada gerai “Ayam Penyet” masakan Jawa Timur yang sedang dipromosikan melalui papan reklame yang dipajang di kompleks mall Dataran Pahlawan, di papan reklame tertulis opening soon in Desember 2010, tetapi setahuku sampai bulan Februari, gerai tersebut masih sebatas papan reklame, gak tahu juga kalau kondisi saat ini ya.

Opening Soon, Ayam Penyet Jawa Timur

Warung-warung yang buka khusus malam hari, juga kami temui tak jauh dari tempat kami menginap, warung-warung tersebut berada dalam satu area pada bagunan semi permanen, cukup tertata rapi dan tidak terlihat kesah kumuh. Penjualnya umumnya etnis melayu dengan menu masakan seafood dan masakan tradisional Malaysia.  Menu favorit kami disini adalah Nasi Goreng Kampong atau mereka kadang juga menyebut Nasi Goreng Cili Padi, mungkin karena nasi goreng ini banyak menggunakan cabe rawit alias cili padi.

Sebagaimana orang Sumatera umumnya masakan Padang lebih disukai lidah kami, namun hanya satu rumah makan atau restoran Padang yang kami temui yakni Restauran Indori, mungkin karena tampilannya yang mewah sehingga harga makananpun menyesuaikan, untuk satu menu yang kita pesan kita harus siap merogoh kocek lebih dalam.
Restoran Padang Indori


Terakhir dari informasi sesama pengunjung Hotel Trend yang berasal dari Indonesia kami menememukan rumahmakan Padang Bukit Tinggi, yang jaraknya sekitar 500 meter dari Hotel Trend arah pelabuhan ferry, selain menunya asli Padang juga pemiliknya adalah warga Malaysia keturunan Padang, kelebihan lain rumahmakan ini harganya relatif murah, plus pelayanan yang ramah apalagi setelah tahu kami dari Sumatera, sehingga selama kami di Malaka rumahmakan ini paling sering kami pilih untuk menu makan kami selanjutnya.

Selasa, 20 Agustus 2013

Semalam di Malaka (Perjalanan ke Malaka)


Penghujung tahun 2010 niat saya beserta istri untuk ke Malaka kesampaian juga. Buat. Malaka, Melaka atau Malacca sebuah kota pesisir yang terletak di Simenanjung Malaka, Malaysia. Tujuan kami ke Malaka selain untuk suatu keperluan pribadi sekaligus untuk melancong.
Harus diakui tujuan melancong rasanya lebih kuat, sebagai awam kebanggaan juga bisa keluar negeri, bagaimanapun ke Malaysia berarti juga ke luar negeri, beda dibanding kalau ke Jakarta misalnya, walaupun secara geografis letak semenanjung Malaka dari kota Jambi tempat tinggal kami lebih dekat dibanding Jakarta.

Kami berangkat dengan bekal Ringgit Malaysia (MYR) yang kami beli dari money changer di Jambi dan info tentang perjalanan ke Malaysia baik dari surfing internet dan informasi teman yang pernah ke Malaka, dan tentu saja Paspor

Sebenarnya ada beberapa pilihan route perjalanan dari Jambi untuk sampai ke Malaka :
  1. Pakai pesawat ke Kuala Lumpur via Jakarta, kemudian pakai Bus ke Malaka, rute ini tentu membutuhkan biaya yang cukup besar.
  2. Pakai mobil travel ke Dumai, via Pekanbaru, kemudian dari Dumai menggunakan kapal Ferry (seperti speedboat ukuran besar) ke Malaka, rute ini relatif paling murah tetapi membutuhkan perjalanan darat yang lama (sekitar 16 jam) dan cukup membuat badan pegal2.
  3. Menggunakan pesawat ke Batam, dari Batam naik Ferry ke Johor Bahru, kemudian dari Johor Bahru naik Bus ke Malaka
  4. Naik mobil travel ke Pekanbaru, kemudian pakai pesawat ke Malaka
Untuk keberangkatan kami yang pertama kami pakai pilihan yang ke-tiga, selain relatif murah, cepat juga cukup mengasyikan.
Singkat cerita pengalaman perjalanan kami seperti berikut :

Kamis 25 November 2010, setelah mengalami delay sekitar 3 jam karena cuaca saat itu sedang hujan badai, sekitar pukul 14.00 wib, akhirnya pesawat Sriwijaya Air menerbangkan kami ke Batam mendarat di Bandara Sulatan Thaha Jambi, hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk sampai di Bandara Hang Nadim, Batam

Setelah sholat di bandara, makan di counter yang ada di Bandara, kami buru2 cari taksi dengan tujuan Batam Centre (terminal Ferry ke Malaysia dan Singapura). Dari obrolan dengan supir taksi baru kami tahu kalau kapal boat ke Johor Bahru Malaysia terakhir pul 17.30 sementara saat itu jam menunjukan pukul 16.45, harap-harap cemas juga karena kami belum beli tiket ferry !, atas saran sopir taksi akhirnya kami beli tiket fery di agen tiket di Jalan menuju Batam Centre, harga tiket untuk 1 orang sekirat Rp.200.000. Ada dua pilihan jadwal keberangkatan yaitu pukul 17.15 dan 17.45, agak dilematis, karena takut kemalaman di Malaka akhirnya kami beli yang 17.15, dengan perhitungan butuh waktu maksimum 15 menit ke Batam Centre.

rute ferry Batam Centre - Stulang Laut
 
Sesampai di Batam Centre timbul masalah baru, ternyata kami terlambat !, walaupun saat itu pas pukul 17.15 tetapi proses “boarding” dan urusan keimigrasian penumpang untuk keberangkatan 17.15 sudah ditutup 10 menit yang lalu. Alamat tiket yang kami beli “hangus”. Melihat gelagat kami seseorang calo menawarkan jasa, untuk menukar tiket yang sudah kami beli dengan tiket baru untuk keberangkatan pukul 17.45. tetapi kami harus menambah uang Rp.300.000,- untuk dua tiket, ditengah kebingungan kami menyetujuainya, pikir2 lumayanlah “hemat” Rp.100.000 dibanding beli tiket baru. 

Salah satu kapal ferry
 
Proses selanjutnya, langsung ke bagian fiscal, tak ada biaya fiskal di pos ini, trus ke pemeriksaan passport dan boarding, ikut antrian panjang termasuk dengan penumpang tujuan Singapore.
Kapal berangkat pukul 18.10. dan sampai di Pelabuhan Stulang Laut. Johor Bahru Malaysia, di Pelabuhan Stulang Laut kembali melewati Checkpoint Imigrasi, disini kami ditanyain : “awak nak ke mane..keje ker” (tujuan kemana, mau kerja?) walau dengan logat malaysia yg kedengaran lucu tapi tetap saja bikin gak nyaman karena nadanya seperti diintrogasi saja, apa standar ke imigrasian seperti itu ya.

 
Keluar dari Pelabuhan Stulang Laut
 
Keluar dari pemeriksaan langsung didatangi calo yang menawarkan jasa taksi, sesuai saran teman sebelumnya kami jalan keluar areal pelabuhan dan mencari tempat taksi ngetem karena biasanya lebih murah. Dari Pelabuhan Stulang Laut hanya sekitar 15 menit ke Terminal Bus Larkin di Johor Bahru dangan ongkos taksi RM 15 (15 ringgit), kurs 1 1 ringgit Malaysia terhadap Rupiah saat itu sekitar 3000 rupiah.

Dalam perjalanan ke terminal Larkin, kesan bahwa Malaysia negara yang lebih maju dari kita sudah mulai terihat, jalan-jalan begitu bersih, lebar, mulus, dan taman – taman kota tertata asri. Waktu menunjukan pukul 07.00 wib ketika sampai Terminal larkin, berarti pukul 08.00 waktu setempat, kami harus putar arloji 1 jam lebih cepat, karena waktu di semanunjung Malaysia sama dengan waktu Indonesia bagian tengah.

sebagian Malaysia bagian barat
 
Sampai di pintu masuk terminal Larkin kami sudah “dijemput” calo berbadan tambun berkulit hitam, nanyain “mau ke ki el ? (KL = Kuala Lumpur), kami terus jalan sambil cuek, takut “dimakan” karena kelihatan kalau orang baru, sambil membuntuti calo tersebut terus mengulang pertanyaanya, akhirnya saya jawab juga “mau ke Malaka cik”... “ Itu nak saye tanye..! katanya sambil bersungut ngeloyor pergi , tapi lucu juga dengar logatnya. Lega juga, dalam hati benar juga calo disini gak segalak calo di Indonesia. Setelah cari “Tandas Awam” (istilah WC umum disana) dan sedikit beli makanan ringan kemudian cari loket tujuan Malaka.

Sekitar 15 menit saja kami sudah berada dalam bus yang siap berangkat ke Malaka, Ongkos bus 1 orang dari Johor Bahru ke Malaka saat itu hanya MYR 20 (sekitar 60 ribu rupiah), dengan jarak tempuh sekitar 3 jam dan dengan bus yang bagus, lapang dengan posisi tempat duduk 2 1 (3 kursi per baris) ongkos segitu terasa murah. Ternyata bus pun hanya terisi sepertiganya saja. Kalau dipikir apa perusahaan bis bisa untung ya dengan tarif dan penumpang segitu.

Tak banyak yang bisa dilihat dalam perjalan karena memang sudah malam, tapi yang saya ketahui bus melalui jalan tol yang rapih dan lancar. Jam 11 malam bus sampai di terminal bus Central Malaka, saat itu masih cukup ramai, gak ada calo dan yang jelas gak ada kesan “angker” diterminal ini. Dari terminal kami menuju Hotel Trend dengan taksi dengan biaya MYR 20, supir taksi cukup ramah, dia banyak cerita tentang malaka, dan tempat kuliner yang direkomendasikanya yaitu rumah makan asam pedas, masakan tradisional Malaysia yang dirasa cocok dilidah kami yang mempynai “lidah melayu”.

salah satu jalan utama di kota Malaka

Rabu, 31 Juli 2013

"Napak Tilas" ke Bengkulu

Lubuk Linggau, Curup, Kepahiang…akhinya ….Bengkulu…!
Dini hari 25 September 2009, mobil travel yang kami tumpangi membawa kami melewati kota-kota itu serasa membawa alam pikirian ku memasuki masa 17-24 tahun yang lalu, masa dimana aku selalu melewati kota-kota itu untuk menghabiskan waktu setiap liburan semester SMA dan tahun-tahun awal kuliahku di kota kelahiranku Jambi ke Kota Bengkulu.

Pagi aku kembali menginjakkan kaki ke Bengkulu bersama istri ke kota dimana pernah aku ceritakan padanya tempat yang meninggalkan banyak kenangan di tahun 1996-2002, tempat yang kembali aku kunjungi semenjak kepindahan kembali ortuku ke Kota Jambi sekitar tahun 1992.

Pantai Panjang
 Waktu yang singkat kami gunakan seefektif dan seefisien mungkin untuk mengitari kota ini. Beberapa tempat tidak berubah, seperti kerasnya deburan ombak samudera ke bibir Pantai Panjang, Benteng Marlborough masih kokoh berdiri,. Akan tetapi sebaliknya lebih banyak perubahan yang kutemui. Pohon -pohon pinus yang memegari pantai sudah tinggi menjuang. Jejeran hotel, cottage, dan sebuah pusat perbelanjaan besar telah berdiri di sepanjang alur Pantai Panjang, Di Pasar Minggu kini terdapat pusat perbelanjaan besar dan beberapa toko waralaba makanan terkenal. Jalan menuju Pelabuhan Pulau Baai berjarak sekitar 30 km arah selatan dari pusat kota yang dahulu sepi telah berdiri banyak bangunan. Pada tepi jalan di pinggiran Danau Dendam Tak Sudah kini sudah ada dan banyak warung minuman yang menyediakan jajanan khas jagung bakar dan air degan. Beberapa tempat yg dulu pernah kulewati juga kami datangi seperti Kampus UNIB sekitar 10 km disebelah utara dari pusat kota dan Desa (?) Air Sebakul sekitar 20 km arah timur Bengkulu yang juga banyak mengalami perubahan.
Danau Dendam Tak Sudah

Tempat yang paling menarik buatku untuk dilihat adalah bekas rumah ortuku di Padang Harapan. Dimana pada setiap liburan kuliah semesteranku di Jambi selalu kuhabiskan waktu di rumah ini, tempat dimana dulu kuhabiskan waktu liburanku dengan bermain catur bersama mendiang ayahku atau tetanggaku, dan lebih banyak waktu lagi aku gunakan untuk membaca koran, menonton teve atau tiduran. Sungguh "no problem" sekali rasanya hidup saat itu. Entah siapa yang menempati rumah itu sekarang. Tidak kutemui orang2 yang aku kenal disekitar rumah ini dan kami juga tidak berusaha mencari dimana orang-orang yang mungkin masih mengenaliku di kota ini. Aku menjadi sangat asing disini.
View Pantai Panjang dari Benteng Marlborough

Tidak penuh 2 hari kami di kota ini, tetapi sudah cukup untuk mengobati rasa penasaran istriku dan rasa rinduku. Apakah suatu saat aku kembali ke Bengkulu Allahu alam