google376dd0c736f65c61.html jejak tersamar: 2015

Minggu, 01 Maret 2015

Perjalanan ke Singapura ala Wong Ndeso



Melakukan perjalanan ke suatu tempat yang baru memang menjadi hobby saya dan istri, tapi perjalanan kami kali ini laksana jadi orang “ndeso” yang pertama kali ke kota besar. Singapura, yah walaupun negara tetangga tapi tingkat kemakmuran mereka sudah level negara maju.

Perjalanan ke Singapura sebenarnya tidak kami rencanakan sebelumnya. Urusan kami di Malaka ternyata lebih cepat dari perkiraan, spontan terpikir oleh ku untuk mengajak jalan istri ke Singapura one day trip setelah sampai di Batam, sebelum kembali ke Jambi. Sambil mencari produk yang sulit kami temukan di Indonesia dan Malaysia. Seperti kuduga ajakanku diterima senang hati oleh istri.

Mengingat waktu persiapan yang mepet kami hanya sempat “googling” informasi alamat penjual produk yang kami cari yang lokasinya di Singapore Post  Centre dan googling objek wisata yang banyak dikunjungi di Singapora, membeli dollar Singapura  (kurs beli saat itu 1 dollar Singapura (SGD) = Rp. 9.522) dan tiket ferry Batam-Singapura PP. Perjalanan ke Malaysia sudah beberapa kali kami lakukan, kalau ke Singapura, saya sendiri baru sekali ke sana sebelumnya, itupun ikut rombongan dan  satu hari dimana semua rute perjalanan sudah diatur oleh biro perjalanan wisata sekitar 6-7 tahun yang lalu. Sementara istri belum pernah ke sana sebelumnya. Yang selalu kuingat dari pemandu wisata kami waktu itu, Singapura adalah negara yang sangat banyak aturan, contohnya membuang sampah atau putung rokok bisa kena denda yang sangat tinggi.

Sabtu 21 Februari 2015, setelah sholat subuh di hotel di kawasan Nagoya dengan menggunakan taksi kami menuju pelabuhan ferry Batam Centre. Setelah melalui proses check in di counter kapal ferry, terus pemeriksaan Imigrasi, kamipun berangkat ke Singapura pukul 7.30 wib. Mengingat waktu Singapura lebih cepat 1 jam dari di Batam maka sebelumnya saya putar arloji 1 jam lebih cepat. Setelah satu jam perjalanan pukul 9.30 A.M waktu setempat  akhirnya kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Ferry  Singapura, seperti yang telah kualami sebelumnya pemeriksaan Imigrasi disini lebih ketat dibanding di Malaysia. Selain diminta perlihatkan KTP juga ditanya tujuan kemana, dan jawaban yang sudah kami persiapkan sebelumnya yaitu “Merlion Park” (tempat yang ada patung singa yang menjadi icon Singapura). Bisa jadi karena penampilan kami dianggap mencurigakan ya sehingga prosesnya seperti itu...*lihat cermin.

Keluar dari pemeriksaan, kebingunganku yang pertama muncul, karena kami memasuki ruangan kondisinya berbeda dengan kunjunganku dulu,sekarang mirip dengan mall. Sesuai rencana, untuk menghindari biaya roaming HP yang mahal, kami muter-muter cari counter yang jual simcard lokal, yang ternyata tidak mudah ditemui. Kebingungan lain, yang selanjutnya menjadi masalah kami selama di Singapura ternyata sediikit dari orang yang kami temui yang bisa bahasa Indonesia/melayu, bahkan ketika kami bertanya pada dua wanita muda berwajah melayu  pada dua kesempatan berbeda  !, akhirnya dengan terpaksa keluar juga ilmu bahasa Inggris ala kadarnya yang selama ini tak pernah kuaplikasikan di dunia nyata, alhamdulillah setelah mengerahkan konsentrasi penuh,  bisa juga nyambung dengan gadis pemandu di counter operator telpon lokal yang kami temui.

Di dalam pelabuhan/mall ada petunjuk arah menuju sarana transportasi  bus, taksi dan MRT. Biar tidak bingung kami memilih taksi . Mungkin karena salah mengikuti petunjuk arah,begitu  keluar bangunan langsung bertemu jalan raya. Ketika ada taksi lewat timbul keraguan untuk mengentikannya, jangan-jangan nanti malah kena denda gara-gara menghentikan taksi disembarang tempat, karena tak ada pilihan lain, akhirnya  “nekat” menghentikan taksi yang lewat. Ketika taksi berhenti kami langsung masuk kedalam taksi yang dibawa ibu-ibu separuh baya, “how much to merlion” kataku segera, sebenarnya terlihat argometer di situ, tapi ku tak menemukan kalimat Inggris yang pas untuk menanyakan perkiraan biaya, takut kemahalan, maklum budget terbatas hehe... Sejenak ibu tadi bingung, “layen..merlayen” istriku mengulangi. Oh.. merlayen (Merlion) kata ibu sopir tadi, baru sadar tadi salah di pronounciation. Dalam perjalanan ibu tadi nyerocos bicara bahasa Inggris dengan logat Chinesse. Kalau naik taksi di Singapura jangan tanya ongkosnya berapa, beda dengan di Malaysia atau Indonesia katanya berulang-ulang. Walau seperti melecehkan tapi kesannya ibu tersebut orangnya cukup ramah dan lucu.

Sekitar 30 menit kami berada di Merlion Park, dokumentasi tentunya gak terlewatkan.  Saat itu cukup ramai dengan pengunjung, mungkin karena 2 hari sebelumnya adalah tahun baru China, sehingga masih dalam suasana liburan di sana.

Sekitar pukul 11 siang kami kembali mencari taksi, tujuan kami selanjutnya Orchad Road, penasaran saja gimana sih kawasan yang sering jadi tempat shopping para selebritis Indonesia itu. Orchad Road lingkungannya sangat asri, banyak ditumbuhi pepohonan, karena bingung mau berhenti dimana akhirnya kusampaikan ke supir taksi yang kali ini bapak-bapak tua berwajah Chinesse bahwa kami belum pernah kesini dan mau cari tempat untuk belanja...  dengan bahasa Inggris sebisanya.  Kami diantar sampai ke lobby sebuah mall. Tak sampai 30 menit kami di sini, tak ada minat belanja karena dari tampilan barang dan merk yang dipajang kami tahu itu barang-barang mewah. Kesan mewah terlihat pada semua bagian mall ini tak terkecuali toilet. Toilet di sini sangat bersih dengan peralatan serba mewah, seperti toilet di pelabuhan ferry yang kami lihat tadi, di dalam hanya menyediakan tissue, tidak ada air basuh. Karena alasan kebersihan dan kebiasaan kali ini terpaksa kami bawa botol air mineral dalam ke toilet.
Pada petugas mall berwajah melayu dengan uniform yang modis, kami tanyakan tempat belanja yang murah di sini, syukurlah dia bisa bahasa melayu, dia merekomendasikan City Plaza di daerah Paya Lebar, “..orang Indonesia  banyak belanja di sana”, kebetulan pikirku.. karena kami juga mencari suatu produk di Gedung Singapore Post di daerah Paya Lebar, “...dari mall ini bisa pake bus atau MRT”. Ya MRT... “kenapa tidak kami coba saja ya” kata istriku menguatkan. Saat itu belum tahu seperti apa MRT di Singapura, seperti bus, kereta api atau monorail kah. Segera kami menuju salah satu lantai mall yang terhubung dengan stasiun MRT.
Kami memasuki ruangan dimana banyak orang lalu-lalang di situ, terlihat sekelompok orang sedang memperhatikan peta jalur MRT, sekilas seperti peta busway di Jakarta. Di depan peta ada seorang  lelaki yang ngobrol dengan beberapa anak-anak didekatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia, segera tanyakan bagaimana cara naik MRT ke Paya Lebar. Agak terburu bapak tadi menjelaskan prinsipnya seperti naik busway, dengan sekali bayar kita boleh berganti jalur busway sesuai  tujuan kita atau semau kita selama kita tidak keluar area MRT.

  Peta MRT Singapura

Tak jauh dari situ kami melihat orang antri disebuah loket penjualan, ini pasti tempat penjualan tiketnya pikirku, tak ragu lagi kami ikut antri. Dengan bahasa Inggris yang kali ini  agak sulit kupahami dan terpaksa kuminta penjelasan berulang-ulang, kuketahui  wanita muda berwajah melayu menjelaskan, benda seperti kartu voucher dijual disini bisa digunakan untuk MRT bus dan kegunaan lain, berlaku untuk 5 tahun. “Hah..Harga 12 dollar, bisa naik MRT untuk 5 tahun ?” pikirku heran. Satu hal lagi pertanyaan ‘ndeso” yang kusampaikan adalah bagaimana menggunakan kartu ini, apa harus ditunjukin ke petugas MRT? “..TAP..” (tempel)... jawab wanita tadi yang masih ku ingat, tapi tak begitu kupahami maksudnya. Informasi yang kuketahui belakangan, itu adalah kartu EZ-LINK  dengan nilai deposit tertentu sesuai harganya, deposit akan berkurang bila kita gunakan untuk MRT , bus atau tempat rekreasi dll , deposit kartu ini bisa diisi ulang di mesin penjualan tiket atau tempat tertentu, untuk naik MRT bisa dengan tiket yang dibeli di mesin tiket untuk satu kali perjalanan, dan juga dengan menggunakan Singapore Tourist Pass (STP) informasi ini belakangan kuketahui dari travelsingapura.com.



Contoh Kartu EZ-LINK

Untungnya ada bagian informasi di dekat situ, kutanyakan cara ke Paya Lebar dan penggunaan sepasang kartu yang telah kami beli. Untungnya ibu berhijab dibagian informasi bisa berbahasa melayu, kami diberi leaflet peta MRT. 

Pintu masuk area MRT

Kami ikuti arus orang menuju MRT, oh rupanya tiket dan kartu EZ-LINK digunakan untuk membuka pintu otomatis dengan menempelkan kartu/tiket dibagian tertentu.  MRT ada di lantai bawah dan untuk kesitu kami menggunakan  eskalator.  Ini toh MRT itu pikirku ketika berada diantara dua kendaraan mirip kereta api yang sedang berkelabat yang masing-masing berada pada jalur berlawanan. Sepertinya jalur MRT ini ada dibawah tanah (underground). Sesuai peta, kami mencari MRT tujuan Marina Bay. Arah perjalanan terlihat pada pintu masuk ke MRT. MRT yang berhenti disetiap stasiun, kami transit dari MRT tujuan Marina Bay di stasiun City Hall ke MRT tujuan Changi Airport dan berhenti di stasiun Paya Lebar.


 Salah satu stasiun monorail 

Ternyata keluar stasiun pun harus “tap” kartu EZ-LINK lagi di pintu otomatis, agar palang pintu terbuka. Gedung Singapore Post hanya berjarak sepelemparan batu dengan stasiun MRT.  Alhamdulillah produk yang kami cari ketemu di sini. Setelah sholat jamak Zuhur-Ashar, dan makan siang yang kesorean di counter fried chicken di gedung ini, kami urungkan niat ke City Plaza, mengingat waktu sudah menunjukan pukul 3 sore, sesuai rencana kami harus pulang ke Batam malam ini dari pelabuhan ferry.


 Suasana interior monorail
Dari alternatif tujuan Marina Bay dan Sentosa Island, saya memutuskan untuk ke Sentosa Island saja karena letaknya tak jauh dari pelabuhan ferry. Dua pemuda yang kami tanya menyebutkan kami harus naik MRT Ke Harbourfron untuk ke sana.
 Jalur MRT dari Paya Lebar ke Harbourfront cukup jauh, tetapi tidak perlu transit MRT.  Jalan keluar stasiun MRT Harbourfront terhubung dengan mall besar, sehingga walau banyak petunjuk tapi kami lagi-lagi harus tanya sana-sini untuk bisa ke Sentosa Island. Sentosa Island adalah kawasan wisata terkenal di Singapura yang merupakan pulau kecil yang tak jauh dari dataran Singapura yang terhubung dengan jembatan. Untuk kesitu dari mall tadi bisa dengan bus, monorail, kereta gantung (subway) dan jalan kaki melaui boardwalk. Awalnya kami berniat mencoba angkutan bus, kami ikuti petunjuk jalan menuju bus yang kami kira akan membawa kami ke Sentosa Island. Setelah menemukan halte bus, karena enggan untuk bertanya lagi kami langsung naik bus yang berhenti di halte.
Begitu memasuki bus kelihatan lagi deh” ndeso”nya, sopir menegur kami untuk menempelkan kartu di dekat supir (konon, ada bus yang bisa dibayar pake uang tunai, tapi harus uang pas). Kurang lebih 3 km bus berjalan, saya merasa ada yang tidak beres. Karena yang kutahu Sentosa Island itu tidak jauh dari Harbourfront tapi tidak ada tanda-tanda bus ke arah sana. Terpaksa namun berat hati karena merasa tidak menemukan kalimat Inggris yang pas, segera kutanya anak remaja disebelah apakah ini kami naik bus yang benar. Seperti dugaan ku ternyata salah, bus ini sepertinya bus kota biasa. Katanya kami harus berhenti di halte selanjutnya dan menyebrang jalan untuk naik bus ke arah semula. Segera kami turun ke lantai bawah (busnya tingkat) buru-buru bilang ke supir untuk berhenti (dari informasi yang kutahu belakangan setiap/umumnya bus di sini ada tombol khusus untuk meminta sopir berhenti pada halte selanjutnya). Segera kami menghambur keluar , tanpa mengiraukan  sopir yang seperti memanggil kami, tapi kemudian bus terus jalan lagi. Jangan-jangan kami harus tap kartu EZ-LINK lagi ya, pikir kami kemudian, geli sendiri kalau ingat itu.
Kami pun menyebrang jalan dua jalur yang sepi tapi harus ekstra hati-hati karena kendaraan yang lewat melaju kencang. Di halte bus seberang kami bertanya pada, wanita muda yang sedang menunggu bus di halte itu cara menuju Sentosa Island, Dia menujuk peta rute bus di dinding halte dan nomor bus yang harus kami tumpangi, namun begitu bus yang ditunggunya tiba dia bergegas menuju bus meninggalkan kami yang masih bimbang, setelah bus dengan nomor yang disebutkan tadi tiba dengan ragu kami menaiki bus, kali ini tak lupa untuk “mentap” kartu EZ-LINK.
Dalam bus yang sedang berjalan, lagi kami bertanya pada gadis remaja yang duduk disamping kami arah menuju Sentosa Island, mungkin karena melihat kami masih bingung dengan penjelasannya, terlihat dia menelpon teman lelakinya dan menyodorkan HP kepadaku, saya menangkap sinyal agar kami bicara langsung dengan temannya  yang bisa bahasa Indonesia/melayu, langsung kutanyakan tentang arah tujuan kami. Jawaban dari HP menyebutkan kami harus berhenti di halte Vivo City, kemudian masuk ke dalam dan seterusnya ( tak ingat lagi apa yang disampaikan karena bahasa melayupun sebenarnya tidak sepenuhnya kupahami ). Melihat kami masih bingung, tak disangka dia memberi isyarat agar kami untuk mengikutinya. Kami berhenti di suatu halte, selanjutnya kami berjalan mengikutinya memasuki mall. Baru ngeh rupanya Vivo City itu nama mall awal kami salah manaiki bus tadi.  Setelah melewati beberapa belokan dan eskalator, dia berhenti  disuatu titik dan menjelaskan pilihan arah ke Sentosa Island,  dengan bus, atau monorail. Tak lupa kami ucapkan “thank you very much” ketika dia berbalik  arah dan bergegas pergi. Alhamdulillah di sini ada juga orang yang tulus membantu.
Segera kami ke level (lantai) 3, seperti orang lain kami “men-tap” kartu EZ-LINK di pintu masuk monorail, kali ini pintu tidak terbuka dan muncul tulisan “insufficient value”, saldo EZ-LINK tidak cukup !, dibagian informasi monorail kami mendapat penjelasan dengan bahasa melayu, kami bisa beli tiket 4 dollar di mesin tiket. Jarak yang ditempuh monorail cukup dekat dan kami berhenti di pemberhentian ke-3, atau pemberhentian terakhir di Sentosa Island. Dari sesama pengunjung kami diberitahu kalau untuk pulang kembali ke Vivo City itu “Free” alias gratis. 
Monorail
Melihat hari sudah petang, khawatir ketinggalan jadwal Kapal Ferry ke Batam terakhir malam ini, kami hanya sekitar 20 menit saja di situ, setelah melihat pantai, pertunjukan Barongsai, kami segera menuju parkiran Bus Shuttle gratis yang diperuntukan untuk wisatawan di Sentosa Island. Sekembalinya di Vivo City ternyata jalan ke pelabuhan ferry yang seharusnya letaknya bersebelahan dengan Vivo City itu sangat membingungkan kami, petunjuk arah yang ada tak cukup membuat kami jelas. Bahkan beberapa pramuniaga counter yang kami tanyakan dimana pelabuhan ferry ke Batam  juga tak ada yang tahu. Setelah berputar cukup lama akhirnya kami bertemu bapak-bapak tua berwajah melayu-india berseragam  dinas, “naik eskalator ke atas, lepastu belok kiri” kali ini dengan bahasa melayu. Sampailah kami di tempat yang ada tulisan HarbourFront, Hmm.., kalau tadi kami sebut saja HarbourFront mungkin banyak yang tahu ya.
Di sini kami kembali bertanya letak counter perusahaan ferry tempat kami harus check in, dan ternyata ada dilantai yang berbeda. Yang menjadi masalah ternyata keberangkatan kapal ferry pada perusahaan ferry yang tiketnya kami beli sewaktu di Batam untuk malam ini sudah “full-booked” penuh..., disarankan untuk berangkat besok hari saja. Sistem pembelian tiket ferry baik di  Batam adalah “open-date” artinya kapanpun bisa digunakan, mungkin karena dalam suasana hari raya Imlek maka kursi penumpang ferry cepat terisi. Berangkat besok pagi ?.. berarti harus sibuk cari hotel lagi, yang rata-rata tarifnya konon lebih mahal dari di Indonesia, belum lagi tiket pesawat untuk ke Sumatera dari Batam esok hari bisa hangus . Untungnya  tiket perusahaan ferry lain masih ada, akhirnya keluar lagi deh 46 dollar untuk keberangkatan pukul  8.45 PM ini. Kami bertemu bapak-bapak yang menggerutu karena mengalami kejadian seperti kami, tiket kapal dia dan rombongan keluarganya tidak bisa digunakan karena full booked  
Proses selanjutnya di pemeriksaan Imigrasi  dan keberangkatan kapal cukup lancar dan tepat waktu. Sekitar sejam kemudian sekitar pukul 21.00 WIB (sesudah arloji kembali dimajukan 1 jam) alhamdulilah sampai ke pelabuhan Batam Centre