Melakukan perjalanan ke suatu tempat yang baru memang
menjadi hobby saya dan istri, tapi perjalanan kami kali ini laksana jadi orang “ndeso”
yang pertama kali ke kota besar. Singapura, yah walaupun negara tetangga tapi
tingkat kemakmuran mereka sudah level negara maju.
Perjalanan ke Singapura sebenarnya tidak kami rencanakan
sebelumnya. Urusan kami di Malaka ternyata lebih cepat dari perkiraan, spontan
terpikir oleh ku untuk mengajak jalan istri ke Singapura one day trip setelah sampai di Batam, sebelum kembali ke Jambi.
Sambil mencari produk yang sulit kami temukan di Indonesia dan Malaysia.
Seperti kuduga ajakanku diterima senang hati oleh istri.
Mengingat waktu persiapan yang mepet kami hanya sempat “googling”
informasi alamat penjual produk yang kami cari yang lokasinya di Singapore
Post Centre dan googling objek wisata
yang banyak dikunjungi di Singapora, membeli dollar Singapura (kurs beli saat itu 1 dollar Singapura (SGD)
= Rp. 9.522) dan tiket ferry Batam-Singapura PP. Perjalanan ke Malaysia sudah beberapa
kali kami lakukan, kalau ke Singapura, saya sendiri baru sekali ke sana
sebelumnya, itupun ikut rombongan dan satu hari dimana semua rute perjalanan sudah
diatur oleh biro perjalanan wisata sekitar 6-7 tahun yang lalu. Sementara istri
belum pernah ke sana sebelumnya. Yang selalu kuingat dari pemandu wisata kami
waktu itu, Singapura adalah negara yang sangat banyak aturan, contohnya
membuang sampah atau putung rokok bisa kena denda yang sangat tinggi.
Sabtu 21 Februari 2015, setelah sholat subuh di hotel di
kawasan Nagoya dengan menggunakan taksi kami menuju pelabuhan ferry Batam
Centre. Setelah melalui proses check in di counter kapal ferry, terus pemeriksaan
Imigrasi, kamipun berangkat ke Singapura pukul 7.30 wib. Mengingat waktu
Singapura lebih cepat 1 jam dari di Batam maka sebelumnya saya putar arloji 1
jam lebih cepat. Setelah satu jam perjalanan pukul 9.30 A.M waktu setempat akhirnya kami menginjakkan kaki di Pelabuhan
Ferry Singapura, seperti yang telah
kualami sebelumnya pemeriksaan Imigrasi disini lebih ketat dibanding di
Malaysia. Selain diminta perlihatkan KTP juga ditanya tujuan kemana, dan
jawaban yang sudah kami persiapkan sebelumnya yaitu “Merlion Park” (tempat yang
ada patung singa yang menjadi icon Singapura). Bisa jadi karena penampilan kami
dianggap mencurigakan ya sehingga prosesnya seperti itu...*lihat cermin.
Keluar dari
pemeriksaan, kebingunganku yang pertama muncul, karena kami memasuki ruangan
kondisinya berbeda dengan kunjunganku dulu,sekarang mirip dengan mall. Sesuai
rencana, untuk menghindari biaya roaming HP yang mahal, kami muter-muter cari
counter yang jual simcard lokal, yang ternyata tidak mudah ditemui. Kebingungan
lain, yang selanjutnya menjadi masalah kami selama di Singapura ternyata
sediikit dari orang yang kami temui yang bisa bahasa Indonesia/melayu, bahkan
ketika kami bertanya pada dua wanita muda berwajah melayu pada dua kesempatan berbeda !, akhirnya dengan terpaksa keluar juga ilmu
bahasa Inggris ala kadarnya yang selama ini tak pernah kuaplikasikan di dunia
nyata, alhamdulillah setelah mengerahkan konsentrasi penuh, bisa juga nyambung dengan gadis pemandu di counter
operator telpon lokal yang kami temui.
Di dalam
pelabuhan/mall ada petunjuk arah menuju sarana transportasi bus, taksi dan MRT. Biar tidak bingung kami
memilih taksi . Mungkin karena salah mengikuti petunjuk arah,begitu keluar bangunan langsung bertemu jalan raya. Ketika
ada taksi lewat timbul keraguan untuk mengentikannya, jangan-jangan nanti malah
kena denda gara-gara menghentikan taksi disembarang tempat, karena tak ada
pilihan lain, akhirnya “nekat”
menghentikan taksi yang lewat. Ketika taksi berhenti kami langsung masuk
kedalam taksi yang dibawa ibu-ibu separuh baya, “how much to merlion” kataku
segera, sebenarnya terlihat argometer di situ, tapi ku tak menemukan kalimat
Inggris yang pas untuk menanyakan perkiraan biaya, takut kemahalan, maklum
budget terbatas hehe... Sejenak ibu tadi bingung, “layen..merlayen” istriku
mengulangi. Oh.. merlayen (Merlion) kata ibu sopir tadi, baru sadar tadi salah di pronounciation. Dalam perjalanan ibu
tadi nyerocos bicara bahasa Inggris dengan logat Chinesse. Kalau naik taksi di
Singapura jangan tanya ongkosnya berapa, beda dengan di Malaysia atau Indonesia
katanya berulang-ulang. Walau seperti melecehkan tapi kesannya ibu tersebut
orangnya cukup ramah dan lucu.
Sekitar 30
menit kami berada di Merlion Park, dokumentasi tentunya gak terlewatkan. Saat itu cukup ramai dengan pengunjung,
mungkin karena 2 hari sebelumnya adalah tahun baru China, sehingga masih dalam
suasana liburan di sana.
Sekitar pukul
11 siang kami kembali mencari taksi, tujuan kami selanjutnya Orchad Road, penasaran
saja gimana sih kawasan yang sering jadi tempat shopping para selebritis
Indonesia itu. Orchad Road lingkungannya sangat asri, banyak ditumbuhi
pepohonan, karena bingung mau berhenti dimana akhirnya kusampaikan ke supir
taksi yang kali ini bapak-bapak tua berwajah Chinesse bahwa kami belum pernah
kesini dan mau cari tempat untuk belanja... dengan bahasa Inggris sebisanya. Kami diantar sampai ke lobby sebuah mall. Tak sampai
30 menit kami di sini, tak ada minat belanja karena dari tampilan barang dan
merk yang dipajang kami tahu itu barang-barang mewah. Kesan mewah terlihat pada
semua bagian mall ini tak terkecuali toilet. Toilet di sini sangat bersih
dengan peralatan serba mewah, seperti toilet di pelabuhan ferry yang kami lihat
tadi, di dalam hanya menyediakan tissue, tidak ada air basuh. Karena alasan
kebersihan dan kebiasaan kali ini terpaksa kami bawa botol air mineral dalam ke
toilet.
Pada petugas
mall berwajah melayu dengan uniform yang modis, kami tanyakan tempat belanja
yang murah di sini, syukurlah dia bisa bahasa melayu, dia merekomendasikan City
Plaza di daerah Paya Lebar, “..orang Indonesia banyak belanja di sana”, kebetulan pikirku..
karena kami juga mencari suatu produk di Gedung Singapore Post di daerah Paya
Lebar, “...dari mall ini bisa pake bus atau MRT”. Ya MRT... “kenapa tidak kami
coba saja ya” kata istriku menguatkan. Saat itu belum tahu seperti apa MRT di
Singapura, seperti bus, kereta api atau monorail kah. Segera kami menuju salah
satu lantai mall yang terhubung dengan stasiun MRT.
Kami memasuki
ruangan dimana banyak orang lalu-lalang di situ, terlihat sekelompok orang
sedang memperhatikan peta jalur MRT, sekilas seperti peta busway di Jakarta. Di
depan peta ada seorang lelaki yang ngobrol
dengan beberapa anak-anak didekatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia, segera
tanyakan bagaimana cara naik MRT ke Paya Lebar. Agak terburu bapak tadi
menjelaskan prinsipnya seperti naik busway, dengan sekali bayar kita boleh
berganti jalur busway sesuai tujuan kita
atau semau kita selama kita tidak keluar area MRT.
Peta MRT Singapura
Tak jauh dari situ kami melihat orang antri disebuah
loket penjualan, ini pasti tempat penjualan tiketnya pikirku, tak ragu lagi
kami ikut antri. Dengan bahasa Inggris yang kali ini agak sulit kupahami dan terpaksa kuminta
penjelasan berulang-ulang, kuketahui wanita
muda berwajah melayu menjelaskan, benda seperti kartu voucher dijual disini
bisa digunakan untuk MRT bus dan kegunaan lain, berlaku untuk 5 tahun. “Hah..Harga
12 dollar, bisa naik MRT untuk 5 tahun ?” pikirku heran. Satu hal lagi
pertanyaan ‘ndeso” yang kusampaikan adalah bagaimana menggunakan kartu ini, apa
harus ditunjukin ke petugas MRT? “..TAP..” (tempel)... jawab wanita tadi yang
masih ku ingat, tapi tak begitu kupahami maksudnya. Informasi yang kuketahui belakangan,
itu adalah kartu EZ-LINK dengan nilai
deposit tertentu sesuai harganya, deposit akan berkurang bila kita gunakan
untuk MRT , bus atau tempat rekreasi dll , deposit kartu ini bisa diisi ulang
di mesin penjualan tiket atau tempat tertentu, untuk
naik MRT bisa dengan tiket yang dibeli di mesin tiket untuk satu kali
perjalanan, dan juga dengan menggunakan Singapore Tourist Pass (STP) informasi
ini belakangan kuketahui dari travelsingapura.com.
Contoh Kartu EZ-LINK
Untungnya ada
bagian informasi di dekat situ, kutanyakan cara ke Paya Lebar dan penggunaan
sepasang kartu yang telah kami beli. Untungnya ibu berhijab dibagian informasi bisa
berbahasa melayu, kami diberi leaflet peta MRT.
Pintu masuk area MRT
Kami ikuti
arus orang menuju MRT, oh rupanya tiket dan kartu EZ-LINK digunakan untuk
membuka pintu otomatis dengan menempelkan kartu/tiket dibagian tertentu. MRT ada di lantai bawah dan untuk kesitu kami
menggunakan eskalator. Ini toh MRT itu pikirku ketika berada
diantara dua kendaraan mirip kereta api yang sedang berkelabat yang
masing-masing berada pada jalur berlawanan. Sepertinya jalur MRT ini ada
dibawah tanah (underground). Sesuai peta, kami mencari MRT tujuan Marina Bay.
Arah perjalanan terlihat pada pintu masuk ke MRT. MRT yang berhenti disetiap
stasiun, kami transit dari MRT tujuan Marina Bay di stasiun City Hall ke MRT
tujuan Changi Airport dan berhenti di stasiun Paya Lebar.
Salah satu stasiun monorail
Ternyata
keluar stasiun pun harus “tap” kartu EZ-LINK lagi di pintu otomatis, agar
palang pintu terbuka. Gedung Singapore Post hanya berjarak sepelemparan batu
dengan stasiun MRT. Alhamdulillah produk
yang kami cari ketemu di sini. Setelah sholat jamak Zuhur-Ashar, dan makan siang
yang kesorean di counter fried chicken di gedung ini, kami urungkan niat ke
City Plaza, mengingat waktu sudah menunjukan pukul 3 sore, sesuai rencana kami
harus pulang ke Batam malam ini dari pelabuhan ferry.
Suasana interior monorail
Dari
alternatif tujuan Marina Bay dan Sentosa Island, saya memutuskan untuk ke Sentosa
Island saja karena letaknya tak jauh dari pelabuhan ferry. Dua pemuda yang kami
tanya menyebutkan kami harus naik MRT Ke Harbourfron untuk ke sana.
Jalur MRT dari Paya Lebar ke Harbourfront cukup
jauh, tetapi tidak perlu transit MRT. Jalan keluar stasiun MRT Harbourfront
terhubung dengan mall besar, sehingga walau banyak petunjuk tapi kami lagi-lagi
harus tanya sana-sini untuk bisa ke Sentosa Island. Sentosa Island adalah
kawasan wisata terkenal di Singapura yang merupakan pulau kecil yang tak jauh
dari dataran Singapura yang terhubung dengan jembatan. Untuk kesitu dari mall
tadi bisa dengan bus, monorail, kereta gantung (subway) dan jalan kaki melaui
boardwalk. Awalnya kami berniat mencoba angkutan bus, kami ikuti petunjuk jalan
menuju bus yang kami kira akan membawa kami ke Sentosa Island. Setelah
menemukan halte bus, karena enggan untuk bertanya lagi kami langsung naik bus
yang berhenti di halte.
Begitu
memasuki bus kelihatan lagi deh” ndeso”nya, sopir menegur kami untuk menempelkan
kartu di dekat supir (konon, ada bus yang bisa dibayar pake uang tunai, tapi
harus uang pas). Kurang lebih 3 km bus berjalan, saya merasa ada yang tidak
beres. Karena yang kutahu Sentosa Island itu tidak jauh dari Harbourfront tapi
tidak ada tanda-tanda bus ke arah sana. Terpaksa namun berat hati karena merasa
tidak menemukan kalimat Inggris yang pas, segera kutanya anak remaja disebelah
apakah ini kami naik bus yang benar. Seperti dugaan ku ternyata salah, bus ini sepertinya
bus kota biasa. Katanya kami harus berhenti di halte selanjutnya dan menyebrang
jalan untuk naik bus ke arah semula. Segera kami turun ke lantai bawah (busnya
tingkat) buru-buru bilang ke supir untuk berhenti (dari informasi yang kutahu
belakangan setiap/umumnya bus di sini ada tombol khusus untuk meminta sopir
berhenti pada halte selanjutnya). Segera kami menghambur keluar , tanpa
mengiraukan sopir yang seperti memanggil
kami, tapi kemudian bus terus jalan lagi. Jangan-jangan kami harus tap kartu
EZ-LINK lagi ya, pikir kami kemudian, geli sendiri kalau ingat itu.
Kami pun
menyebrang jalan dua jalur yang sepi tapi harus ekstra hati-hati karena
kendaraan yang lewat melaju kencang. Di halte bus seberang kami bertanya pada,
wanita muda yang sedang menunggu bus di halte itu cara menuju Sentosa Island, Dia
menujuk peta rute bus di dinding halte dan nomor bus yang harus kami tumpangi,
namun begitu bus yang ditunggunya tiba dia bergegas menuju bus meninggalkan
kami yang masih bimbang, setelah bus dengan nomor yang disebutkan tadi tiba dengan
ragu kami menaiki bus, kali ini tak lupa untuk “mentap” kartu EZ-LINK.
Dalam bus
yang sedang berjalan, lagi kami bertanya pada gadis remaja yang duduk disamping
kami arah menuju Sentosa Island, mungkin karena melihat kami masih bingung
dengan penjelasannya, terlihat dia menelpon teman lelakinya dan menyodorkan HP
kepadaku, saya menangkap sinyal agar kami bicara langsung dengan temannya yang bisa bahasa Indonesia/melayu, langsung
kutanyakan tentang arah tujuan kami. Jawaban dari HP menyebutkan kami harus
berhenti di halte Vivo City, kemudian masuk ke dalam dan seterusnya ( tak ingat
lagi apa yang disampaikan karena bahasa melayupun sebenarnya tidak sepenuhnya
kupahami ). Melihat kami masih bingung, tak disangka dia memberi isyarat agar
kami untuk mengikutinya. Kami berhenti di suatu halte, selanjutnya kami
berjalan mengikutinya memasuki mall. Baru ngeh rupanya Vivo City itu nama mall awal
kami salah manaiki bus tadi. Setelah
melewati beberapa belokan dan eskalator, dia berhenti disuatu titik dan menjelaskan pilihan arah ke
Sentosa Island, dengan bus, atau
monorail. Tak lupa kami ucapkan “thank you very much” ketika dia berbalik arah dan bergegas pergi. Alhamdulillah di sini
ada juga orang yang tulus membantu.
Segera kami
ke level (lantai) 3, seperti orang lain kami “men-tap” kartu EZ-LINK di pintu
masuk monorail, kali ini pintu tidak terbuka dan muncul tulisan “insufficient
value”, saldo EZ-LINK tidak cukup !, dibagian informasi monorail kami mendapat
penjelasan dengan bahasa melayu, kami bisa beli tiket 4 dollar di mesin tiket.
Jarak yang ditempuh monorail cukup dekat dan kami berhenti di pemberhentian
ke-3, atau pemberhentian terakhir di Sentosa Island. Dari sesama pengunjung kami
diberitahu kalau untuk pulang kembali ke Vivo City itu “Free” alias gratis.
Monorail
Melihat hari
sudah petang, khawatir ketinggalan jadwal Kapal Ferry ke Batam terakhir malam
ini, kami hanya sekitar 20 menit saja di situ, setelah melihat pantai,
pertunjukan Barongsai, kami segera menuju parkiran Bus Shuttle gratis yang
diperuntukan untuk wisatawan di Sentosa Island. Sekembalinya di Vivo City
ternyata jalan ke pelabuhan ferry yang seharusnya letaknya bersebelahan dengan
Vivo City itu sangat membingungkan kami, petunjuk arah yang ada tak cukup
membuat kami jelas. Bahkan beberapa pramuniaga counter yang kami tanyakan dimana
pelabuhan ferry ke Batam juga tak ada
yang tahu. Setelah berputar cukup lama akhirnya kami bertemu bapak-bapak tua
berwajah melayu-india berseragam dinas,
“naik eskalator ke atas, lepastu belok kiri” kali ini dengan bahasa melayu.
Sampailah kami di tempat yang ada tulisan HarbourFront, Hmm.., kalau tadi kami
sebut saja HarbourFront mungkin banyak yang tahu ya.
Di sini kami
kembali bertanya letak counter perusahaan ferry tempat kami harus check in, dan
ternyata ada dilantai yang berbeda. Yang menjadi masalah ternyata keberangkatan
kapal ferry pada perusahaan ferry yang tiketnya kami beli sewaktu di Batam
untuk malam ini sudah “full-booked” penuh...,
disarankan untuk berangkat besok hari saja. Sistem pembelian tiket ferry baik
di Batam adalah “open-date” artinya kapanpun bisa digunakan, mungkin karena dalam
suasana hari raya Imlek maka kursi penumpang ferry cepat terisi. Berangkat besok
pagi ?.. berarti harus sibuk cari hotel lagi, yang rata-rata tarifnya konon
lebih mahal dari di Indonesia, belum lagi tiket pesawat untuk ke Sumatera dari
Batam esok hari bisa hangus . Untungnya tiket perusahaan ferry lain masih ada,
akhirnya keluar lagi deh 46 dollar untuk keberangkatan pukul 8.45 PM ini. Kami bertemu bapak-bapak yang
menggerutu karena mengalami kejadian seperti kami, tiket kapal dia dan
rombongan keluarganya tidak bisa digunakan karena full booked
Proses
selanjutnya di pemeriksaan Imigrasi dan
keberangkatan kapal cukup lancar dan tepat waktu. Sekitar sejam kemudian sekitar
pukul 21.00 WIB (sesudah arloji kembali dimajukan 1 jam) alhamdulilah sampai ke
pelabuhan Batam Centre